Judul Buku : Benarkah Tahlilan dan Kenduri Haram?

Penulis : Muhammad Idrus Ramli

Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Desember 2011
Tebal : v + 79 Halaman

Harga : Rp. 12.000,-

Tradisi tahlilan, kenduri kematian, yasinan dan lainnya sangat lekat dengan kehidupan pesantren khususnya yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, karena pesantren merupakan basis keilmuan yang menjadi rujukan amaliah umat Islam. Adapun pesantren di Indonesia mayoritas mengkaji kitab-kitab para ulama salafus shalih Madzhab Empat khususnya Syafi’iyyah yang tidak diragukan kualitas keilmuan dan kredibilitasnya. Dari kitab-kitab ulama salaf inilah hujjah tahlilan dan tradisi keagamaan kaum Nahdliyin dirujuk. Seperti halnya kitab al-Umm karya Imam Syafi’i, Fikih ala Madzahibul Arba’ah, I’anatut Thalibin, Hasyiyatul Qulyubi, Mughnil Muhtaj dan kitab-kitab lainnya.

Beberapa waktu lalu sekitar pertengahan tahun 2011 masyarakat muslim Yogyakarta dan sekitarnya diresahkan oleh munculnya selebaran gelap yang mengatasnamakan Manhaj Salaf. Tulisan 14 halaman tersebut berjudul Imam Syafi’i Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan (hal iii). Selebaran tersebut tentu saja membuat masyarakat awam yang telah menjadikan tradisi kenduri sebagai bagian dari tradisi keagamaan menjadi resah. Tidak disangsikan lagi bahwa modus provokasi seperti itu biasa dilakukan oleh para pegikut Wahabi yang antipati terhadap tradisi keagamaan yang telah mengurat mengakar di masyarakat. Namun, setelah diadakan penelitian dan kajian mendalam terhadap selebaran itu itu, ternyata penuh dengan pemutarbalikan fakta dan tidak ada kejujuran ilmiah.

Karena itulah, Muhammad Idrus Ramli (penulis buku ini) merasa terpanggil untuk mengungkap kebohongan tersebut. Meski bentuknya mungil, buku berjudul “Benarkah Tahlilan dan Kenduri Haram?”, diuraikan secara gamblang pemutarbalikan fakta ilmiah yang biasa dilakukan oleh kelompok anti tahlil. Bahkan penulis mampu menyuguhkan pendapat-pendapat ulama panutan Wahabi yang menganjurkan bacaan Surat Yasin untuk orang yang telah meninggal dunia, sebagaimana Imam Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, Imam Ibnu Katsir, dan bahkan pendiri Madzhab Wahabi Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab.

Menurut penulis, buku ini memang muncul dilatarbelakangi banyaknya selebaran-selebaran gelap dan buku-buku yang berisi tentang tuduhan bid’ah dan syirik kepada para pengamal tahlilan dan tradisi Nahdliyin lainnya. Sebagai counter of discourseterhadap wacana-wacana Islam puritan, buku ini layak diapresiasi dan dianjurkan untuk dibaca oleh semua kalangan, baik santri, mahasiswa terlebih masyarakat awam yang membutuhkan penjelasan tentang dalil amaliah yang telah mentradisi di kalangan umat Islam Indonesia.

Kiai muda Nahdlatul Ulama yang produktif menulis ini menegaskan dalam bukunya bahwa klaim Imam Syafi’i yang dianggap mengharamkan kenduri kematian sama sekali tidak benar. Buktinya, dalam kitab al-Umm halaman 278 juz I, Imam Syafi’i malah menganjurkan para tetangga mengadakan jamuan makan untuk keluarga mayit (hal.2).

Dalam selebaran gelap tersebut ada kesan bahwa seluruh ulama salaf melarang menghidangkan makanan kepada orang-orang yang berta’ziyah. Namun lagi-lagi tuduhan itu mengada-ada. Bahkan dalam hadis riwayat Bukhari Muslim (2216) diceritakan bahwa saat salah satu keluarga Siti Aisyah meninggal, beliau menyuruh keluarganya membuatkan talbinah (bubur). Kemudian Aisyah menghidangkannya kepada para pentakziyah. Selain itu, Imam Ahmad Ibnu Hanbal meriwayatkan dari Imam Sufyan, bahwa Imam Thawus mengatakan jika orang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut. Menurut Imam as-Suyuti, hadis riwayat Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ dan dapat dijadikan hujjah (hal 11). Dari sini jelas bahwa selebaran gelap pengikut aliran Wahabi tersebut telah melakukan distorsi dan ketidakjujuran ilmiah, hanya membikin resah dan memecah-belah umat.

Satu lagi mutilasi ilmiah yang dilakukan Wahabiyah, yakni dalam selebaran gelap tersebut dikutip perkataan Imam Syafi’i dalam kitab I’anah al-Thalibin yang menghukumi munkar kumpul-kumpul kenduri arwah dan empat puluh hari kematian. Ironisnya pengutipan pendapat Imam Syafi’i tersebut tidak lengkap sehingga menyebabkan kekeliruan pemahaman yang fatal. Setelah dicek pada kitab aslinya, ternyata hukum munkar jika biaya kenduri arwah tersebut diambilkan dari harta mayit yang masih memiliki hutang (mahjur) (hal. 53).

Mudah-mudahan Ustadz Idrus tetap diberi kekuatan dan perlindungan untuk tetap berjuang mengakkan yang haq. Wallahu a’lam bis shawab…

Pesesensi : Fathul Qodir (Anggota Divisi Uswah Aswaja NU Centre PWNU Jatim). Sumber: Majalah NU AULA Maret 2012

 

Tinggalkan komentar